Di facebook, ada teman yg update
status, “Bahagia itu…”. Aku tertarik untuk memberi komentar, aku komen, “Ikhlas.”
Entah kenapa kata itu yang muncul dalam benakku. Setelah komentar itu terkirim,
aku berpikir lagi. Kenapa ikhlas? Kenapa tidak kata yang lain, senyum misalnya.
Lalu, apa hubungannya bahagia dengan ikhlas? Bukankah ikhlas itu…berat.
Kemudian temanku membalas komenku, “Kapan
itu”. Tentu saja aku tidak tau. Karena kau pikir, tiap orang mempunyai kondisi
atau keadaan yang berbeda, juga masalah-masalah yang dihadapi juga beda. Bagaimana
aku menjawabnya?
“Entah,” mungkin ini kata yang
tepat sesuai alasanku tadi. Karena, aku memang tidak tau kondisinya.
Tidak lama ia membalas komenku
lagi, “Harusnya kapan aja dong. Anytime..”. menurutku maksudnya sama dengan
jawabanku. Tidak pasti. Bisa diartikan ‘lihat sikonnya’ atau ‘terserah yang aku
mau’. Ini sangat tidak teratur. Lalu aku perjelas lagi, “Ikhlas itu relatif. Mungkin
sekarang kita bisa ikhlas, tapi entah besok, entah lusa, entah nanti.” Dia jawab,
“Mungkin.” Dan aku tertawa.
Dari percakapan itu, aku menyadari
sesuatu mengenai ikhlas. Sebuah perenungan tepatnya. Begini…
Ikhlas. Kata orang,
ikhlas itu berat. Dan itu memang benar. Yang
membuat ikhlas itu menjadi berat adalah pertahanan untuk tetap merasa ikhlas.
Mungkin awalnya kita mudah untuk bilang ikhlas, kemudian mencoba melakukannya. Tapi,
kita tidak pernah tau kemungkinan yang akan terjadi nanti. Bukankah mood seseorang
selalu berubah. Tidak bisa diduga. Kadang
marah, kadang senyum-senyum, kadang sebel, kadang tanpa rasa, kadang bahagia. Begitulah..
Misalnya saja ada
kejadian kehilangan ponsel disebabkan oleh kesalahan sendiri. Awalnya pasti
sedih, marah, sebel, dan tentu saja moodnya selalu jelek. Tapi ketika menyadari
kalau ini adalah kesalahan sendiri, sebisa mungkin akan berusaha untuk kembali
berpikir negatif, “Ini salahku sendiri. Mungkin karena aku kurang hati-hati. Mungkin
ini bukan rejekiku. Mungkin karena aku kurang sedekah. Berharap Tuhan akan
menggantinya dengan yang lebih baik lagi (pahala).” Dari kalimat ini
kesimpulannya ia sudah mulai merasa ikhlas dengan kehilangan itu. Beberapa hari
kemudian, ada hal penting dalam ponsel itu. Sangat dibutuhkan dan mendesak. Hal
ini bisa menyebabkan mood kembali tidak baik. Lupa jika sedang mempertahankan
keikhlasan. Lali, ia menyalahkan diri sendri atau mencari kambing hitam untuk pelampiasan
amarahnya yang tak terbendung. Lebih parah lagi jika menyalahkan kehendak
Tuhan. Akhirnya, lunturlah nilai ikhlas itu.
Inilah maksud dari, Ikhlas itu relatif. Mungkin sekarang bisa,
tapi entah besok, lusa, dan nanti.
Nah, sekarang bagaimana dengan Bahagia itu Ikhlas? Sederhana saja, jika
dengan ikhlas kita tidak akan merasakan kehilangan atau kesedihan atau amarah
atau beban apapun dalam pikiran kita. Otomatis, pikiran kita begitu longgar. Hal
apapun yang bakal kita hadapi nanti akan terasa ringan. Adakah kebahagiaan lain
selain mempunyai pikiran yang longgar?
No comments:
Post a Comment
Ehm, komentarnya yg bijak yaa.. ^_^