Pagi
itu waktu serasa melambat. Ada keheningan yang tersamar. Aku yang terbiasa
melakukan segalanya dengan cepat pun heran dengan diriku sendiri. Aku percepat
lagi laju kendaraan. Hemm, sama saja. Sepedaku seperti tak ingin bergerak
cepat. Sesampainya disana kulihat arlojiku, waktu tempuh yang sama seperti
biasanya. Tapi mengapa terasa begitu lambat?
Dia
belum disana. Aku menunggunya. Lama. Merasa khawatir, aku mengirim pesan
singkat padanya menanyakan keberadaannya. Hahaha, ternyata dia tersesat. Aku baru
sadar, dia belum pernah kesini. Aku sebal padanya, kenapa tidak bilang kalau
tidak tau tempatnya. Dan kami pun bertemu. Dalam keriuhan suasana yang tak bisa
kunikmati. Ada segelintir ganjil yang tak ku mengerti.
Kami
memilih stan bubur ayam. Berdua menikmati makanan itu dan waktu semakin terasa
lamban. Tiba-tiba saja aku merasa tidak nyaman. Aku ingin segera pergi dari
tempat ini. Aku melihat kesana kemari. Aku tidak melihat kearahnya. Entah,
sangat tidak nyaman.
Memulai
dengan menceritakan pertemuan awal kami dulu. Kedekatan kami dan
perasaan-perasaan yang mulai mengganggu. Dia menilai bagaimana diriku. Aku diam,
kadang mengatakan “he’em”, sesekali menampik kalau dia begitu lebay menilaiku. Aku
tersenyum, tertawa karena itu. Dan kejujuran itu mulai dia ungkapkan. Dalam sekejab
senyum itu lenyap. Namun, aku tetap memilih untuk tersenyum padanya.
Kejujuran
yang menjadi pertanyaan dibenakku selama ini. Kejujuran yang seharusnya dia
ungkapkan sejak dulu, sebelum aku mulai menyayanginya. Sebelum aku membuka hati
untuknya. Sebelum aku memikirkannya, berharap dan percaya padanya.
Dan
waktu semakin melamban. Aku ingin teriak, menangis, memakinya, mengeluarkan
semua amukanku. Namun, aku tak bisa. Untuk apa? Percuma aku lakukan semua itu. Percuma
aku berontak. Percuma aku memuaskan diriku. Percuma aku membalasnya dengan
kemarahan. Percuma, takkan merubah apapun. Percuma saja..
Aku
tersenyum lagi padanya. Berbicara lebih singkat dan memandang kearah lain.
Dia
menyuruhku menatapnya, mendengar bicaranya, meyakinkanku bahwa aku baik-baik
saja. Tentu aku baik-baik saja. Dihadapannya.
Begitu
banyak pertanyaan di otakku. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa begitu? Begini? Apa
sebenarnya maunya? Kenapa aku? Kenapa kamu? Bagaimana nanti?
Tidak
ada satu pun yang keluar dari mulutku. Aku memilih terdiam dan memikirkan yang
lain. Aku ingin berpindah tempat. Menjauh dan berlari sekencang-kencangnya. Aku
ingin pergi dari hadapannya.
Tapi
tidak. Ini harus selesai sekarang. Karena nanti aku tidak ingin memikirkan atau
merasakan sakit lagi. Aku ingin sembuh dari ini. Nanti.
Aku
memaksakan diri untuk menerima semua. Memanggil pikiran-pikiran positif untuk
menguatkan jiwaku. Menahan air yang harusnya mengalir lepas. Menahan, ya hanya
menahannya. Agar semua baik-baik saja. Ya, aku ingin baik-baik saja. Terlihat baik
dihadapannya. Aku kuat dan aku tidak kekanakan.
Seketika
aku teringat ibu. Betapa beliau sangat bahagia ketika ku kenalkan dia dihadapan
beliau, ayahku dan kakakku. Yang mereka tau, dia adalah orang terdekatku saat
ini. Mereka berharap yang terbaik bagi hubungan kami. Dan, apa yang akan aku
katakan pada mereka nanti, bahwa itu tak mungkin terjadi. Harapan mereka telah
pupus. Aku memikirkan mereka. Kemudian melihatnya. Dan kembali kearah lain.
Aku
ingin segera pergi dari tempat itu, tapi dia menahanku. Memintaku untuk
sebentar saja “bersamanya”. Aku meng-iya-kan. Ini untuk yang terakhir kalinya. Mungkin.
Tak
ada pembicaraan yang penting lagi. Semua serba bulshit sekarang. Kepercayaanku terhadapnya
sedikit demi sedikit lumpuh.
Aku
tak tahan lagi. Membendung airmata terlalu lama bisa membuatku gatal-gatal. Aku
mengakhiri pertemuan ini. Pertemuan terakhir. Mungkin.
Diakhir
perjalanan bersamanya masih menyisakan tanya yang harus ku tahan, “Seharusnya
kau ungkapkan dari dulu kebenaran itu, agar aku tak jatuh cinta padamu. Kenapa kau
tak jujur?”
Bersyukur,
kebenaran itu telah ditunjukan oleh-Nya sekarang, sebelum berlarut. Meski pun
sakit, kecewa, marah. Rasakan saja. Nikmati saja. Kemudian bersyukurlah.
Sejatinya,
aku hanya kehilangan satu harapan. Dan aku bisa membangun lagi harapan baru. Meskipun
tak sama. Jelas, pasti akan mendapatkan yang berbeda. Yang lebih baik, terbaik
dan semakin baik.
Tak
ingin menyalahkan apapun yang terjadi, menyesalinya dan membenci. Itu hanya
akan membuat diri semakin tersiksa dan rapuh. Tak perlu mempermasalahkan
masalah, itu hanya akan memperpanjang waktu duka saja. Tak perlu mengingat yang
telah lalu, karena itu tak akan kembali.
Yahh,
begitulah kira-kira rasanya sakit hati. Memang sakit. Namun, semua akan
baik-baik saja selama menginginkannya begitu. ^_^
No comments:
Post a Comment
Ehm, komentarnya yg bijak yaa.. ^_^