ucapan

Selamat Datang di Blog Aprisa Ayu. Terimakasih Telah Membaca. Saranghaeyoooo... (^_*)

Friday, November 9, 2012

Untuk Bibir yang Terdiam... Lama...

Duduk dibawah pohon adalah pilihan kami bertiga. Aku, Dee, dan Memei. Hampir beberapa minggu kami tak saling menyapa di dunia nyata. Yahh, karena kesibukan masing2, kami tak bisa bertemu. Meskipun begitu, eratnya rasa persahabatan yang akhirnya memaksa kami bertemu kembali.

Beberapa hari yang lalu salah satu teman kami kembali lagi ke kota ini. Aku biasa saja mendengarnya. Tak begitu merespon dengan sumringah. Malam sebelum kami bertemu, Dee sms ke aku. Awalnya aku curiga dengan dia, aku kira dia akan mengajakku bertemu dengan "teman lama" itu. Ternyata tidak, Dee hanya ingin bertemu denganku. Oh, maafkan aku Dee, aku telah berprasangka buruk denganmu. Segera aku iya-kan ajakannya. Kebetulan ada yang ingin aku sampaikan padanya.

Aku dan Dee datang duluan, kemudian menyusul Memei. Kami mulai dengan candaan masing-masing.  Kami tertawa.
Yahh, Memei mengejekku karena akulah yang paling sering "menghilang" diantara mereka. Dee yang paling pendiam diantara kami bertiga, dan dia selalu menjadi penengah jika aku dan Memei mulai saling serang ejekan. Dee, penuh rahasia dan dia paling dewasa diantara kami. Memei, sebenarnya dia teman yang sangat baik tapi sayangnya dia begitu galak. Hidupnya yang keras membuat dia begitu.

Seperti tadi siang, ada airmata yang mengalir di pipinya. Aku dan Dee sempat terkejut dengan ceritanya. Memei bukanlah orang yang jahat, dia selalu baik dengan teman-temannya. Dia orang yang supel dan ceria. Aku tak menyangka jalan hidupnya begitu berat. Setelah masalah perceraian orang tuanya, berpisah dengan orang yang hampir 7 tahun menemaninya dalam suka duka, dan sekarang hidupnya di ombang-ambingkan oleh "orang sakit jiwa". Menyesal, aku dan Dee tak bisa berbuat banyak dengan masalahnya yang ini. Mendengarkan dan mendo'akan yang paling terbaik untuknya. Mungkin itu yang bisa kita lakukan.

Tak seperti Memei, meskipun hatinya menjerit kesakitan ia masih mampu untuk tersenyum. Tersenyum untuk aku dan Dee. Justru aku kebalikan dari dirinya. Berawal dari Dee yang menanyakan pertanyaan yang tak pernah kuduga dan aku tak berharap dia menanyakan hal itu. 

"Apa kau tak ingin bertemu dengannya?" Dee menatapku lekat.

Aku terdiam sesaat, haruskah ku ceritakan lagi tentang itu, "Bukan tak ingin, Dee. Aku hanya tak tau harus melakukan apa saat bertenu dengannya. Kamu tau kan, aku dan dia tak bisa seperti dulu lagi." Aku mendesah, berusaha mengendalikan emosiku. Aku teringat masalah itu lagi.

"Sebenarnya, ada apa sih? Padahal dulu kalian sangat dekat." Dee mendesakku. Memei memandangku penuh tanya. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak ingin mengungkap masalah ini lagi.

Aku gagal mengendalikan emosiku. Aku tertunduk. Airmataku mengalir perlahan. "Aku ingin semuanya menjadi biasa lagi, Dee. Tapi, aku tak mampu menutupi. Aku benar-benar merasa dikecewakan olehnya."

"Iya, kita tau kamu kecewa dengannya. Tapi, masalahnya apa?" Memei semakin mendesakku untuk menceritakan semuanya.

"Pernahkah kalian sangat percaya terhadap seseorang yang kalian yakini bahwa dialah yang bisa membuatmu nyaman ketika kamu sedang banyak masalah? Kamu dengan mudahnya cerita apapun masalahmu ke orang tersebut, berharap akan ada solusi dan respon positif yang dia berikan? Pernahkah kamu mengorbankan waktu yang kamu punya hanya untuk teman yang kesepian?" Dee dan Memei mengangguk.

"Lalu, bagaimana kalau secara sadar dia berkata padamu, 'Aku mendengarkanmu, tapi itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri'? Seketika itu juga, aku merasa tak pernah dianggap olehnya. Kalian masih ingat saat aku akan penelitian, beberapa menit sebelum aku berangkat dan itu sudah ditunggu oleh teman-teman sekelompok denganku, dan dia meneleponku. Dia menangis. Dengan suara yang tidak begitu jelas dia memintaku ke kosnya. Aku sungguh khawatir dengan keadaannya. Aku tinggalkan teman-teman sekelompokku. Aku hampir meninggalkan penelitianku. Aku kekosnya. Dan dia menangis karena diputus oleh kekasihnya."

"Iya, aku masih ingat itu. Dan dia tidak mau makan karena itu." sambung Memei. "Lalu, apa?"

"Kalian tau kan, aku terbiasa melakukan semua hal sendiri. Jika aku masih mampu. Tapi, jika aku benar-benar kesulitan dan bingung harus bagaimana, aku membutuhkan seseorang. Aku menghubunginya. Dan dia tak datang untukku. Aku sangat sedih. Saat itu aku sangat membutuhkan bantuan dia. AKu mempercayainya, tapi dia begitu cepat melupakan aku." Airmataku semakin menderas. Dee dan Memei memandangku dengan sedih.

"Aku ingin melupakan semua itu. Tapi, melihat sikap dia yang tak berubah, bahkan setelah aku 'diam', aku hanya tak ingin bertemu dengannya. Sampai sekarang keadaanya masih sama dengan dulu. Bukan, bukan berarti aku menyimpan dendam, aku hanya tak mampu untuk meredam goresan itu menyayat lagi. Aku tak ingin bertemu dengannya karena tak ingin menambah luka lagi."

Dee, Memei dan aku terdiam sejenak. Menikmati suara dedaunan yang terhempas oleh angin sore. Kami bergulat dengan pikiran masing-masing.



No comments:

Post a Comment

Ehm, komentarnya yg bijak yaa.. ^_^