ucapan

Selamat Datang di Blog Aprisa Ayu. Terimakasih Telah Membaca. Saranghaeyoooo... (^_*)

Tuesday, December 18, 2012

Seharusnya...


Pagi itu waktu serasa melambat. Ada keheningan yang tersamar. Aku yang terbiasa melakukan segalanya dengan cepat pun heran dengan diriku sendiri. Aku percepat lagi laju kendaraan. Hemm, sama saja. Sepedaku seperti tak ingin bergerak cepat. Sesampainya disana kulihat arlojiku, waktu tempuh yang sama seperti biasanya. Tapi mengapa terasa begitu lambat?
Dia belum disana. Aku menunggunya. Lama. Merasa khawatir, aku mengirim pesan singkat padanya menanyakan keberadaannya. Hahaha, ternyata dia tersesat. Aku baru sadar, dia belum pernah kesini. Aku sebal padanya, kenapa tidak bilang kalau tidak tau tempatnya. Dan kami pun bertemu. Dalam keriuhan suasana yang tak bisa kunikmati. Ada segelintir ganjil yang tak ku mengerti.
Kami memilih stan bubur ayam. Berdua menikmati makanan itu dan waktu semakin terasa lamban. Tiba-tiba saja aku merasa tidak nyaman. Aku ingin segera pergi dari tempat ini. Aku melihat kesana kemari. Aku tidak melihat kearahnya. Entah, sangat tidak nyaman.
Sarapan selesai. Dia membuka percakapan.
Memulai dengan menceritakan pertemuan awal kami dulu. Kedekatan kami dan perasaan-perasaan yang mulai mengganggu. Dia menilai bagaimana diriku. Aku diam, kadang mengatakan “he’em”, sesekali menampik kalau dia begitu lebay menilaiku. Aku tersenyum, tertawa karena itu. Dan kejujuran itu mulai dia ungkapkan. Dalam sekejab senyum itu lenyap. Namun, aku tetap memilih untuk tersenyum padanya.
Kejujuran yang menjadi pertanyaan dibenakku selama ini. Kejujuran yang seharusnya dia ungkapkan sejak dulu, sebelum aku mulai menyayanginya. Sebelum aku membuka hati untuknya. Sebelum aku memikirkannya, berharap dan percaya padanya.
Dan waktu semakin melamban. Aku ingin teriak, menangis, memakinya, mengeluarkan semua amukanku. Namun, aku tak bisa. Untuk apa? Percuma aku lakukan semua itu. Percuma aku berontak. Percuma aku memuaskan diriku. Percuma aku membalasnya dengan kemarahan. Percuma, takkan merubah apapun. Percuma saja..
Aku tersenyum lagi padanya. Berbicara lebih singkat dan memandang kearah lain.
Dia menyuruhku menatapnya, mendengar bicaranya, meyakinkanku bahwa aku baik-baik saja. Tentu aku baik-baik saja. Dihadapannya.
Begitu banyak pertanyaan di otakku. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa begitu? Begini? Apa sebenarnya maunya? Kenapa aku? Kenapa kamu? Bagaimana nanti?
Tidak ada satu pun yang keluar dari mulutku. Aku memilih terdiam dan memikirkan yang lain. Aku ingin berpindah tempat. Menjauh dan berlari sekencang-kencangnya. Aku ingin pergi dari hadapannya.
Tapi tidak. Ini harus selesai sekarang. Karena nanti aku tidak ingin memikirkan atau merasakan sakit lagi. Aku ingin sembuh dari ini. Nanti.
Aku memaksakan diri untuk menerima semua. Memanggil pikiran-pikiran positif untuk menguatkan jiwaku. Menahan air yang harusnya mengalir lepas. Menahan, ya hanya menahannya. Agar semua baik-baik saja. Ya, aku ingin baik-baik saja. Terlihat baik dihadapannya. Aku kuat dan aku tidak kekanakan.
Seketika aku teringat ibu. Betapa beliau sangat bahagia ketika ku kenalkan dia dihadapan beliau, ayahku dan kakakku. Yang mereka tau, dia adalah orang terdekatku saat ini. Mereka berharap yang terbaik bagi hubungan kami. Dan, apa yang akan aku katakan pada mereka nanti, bahwa itu tak mungkin terjadi. Harapan mereka telah pupus. Aku memikirkan mereka. Kemudian melihatnya. Dan kembali kearah lain.
Aku ingin segera pergi dari tempat itu, tapi dia menahanku. Memintaku untuk sebentar saja “bersamanya”. Aku meng-iya-kan. Ini untuk yang terakhir kalinya. Mungkin.
Tak ada pembicaraan yang penting lagi. Semua serba bulshit sekarang. Kepercayaanku terhadapnya sedikit demi sedikit lumpuh.
Aku tak tahan lagi. Membendung airmata terlalu lama bisa membuatku gatal-gatal. Aku mengakhiri pertemuan ini. Pertemuan terakhir. Mungkin.
Diakhir perjalanan bersamanya masih menyisakan tanya yang harus ku tahan, “Seharusnya kau ungkapkan dari dulu kebenaran itu, agar aku tak jatuh cinta padamu. Kenapa kau tak jujur?”

Tak ada kebahagiaan yang abadi. Tak ada pula kesedihan yang abadi. Ya kan?
Bersyukur, kebenaran itu telah ditunjukan oleh-Nya sekarang, sebelum berlarut. Meski pun sakit, kecewa, marah. Rasakan saja. Nikmati saja. Kemudian bersyukurlah.
Sejatinya, aku hanya kehilangan satu harapan. Dan aku bisa membangun lagi harapan baru. Meskipun tak sama. Jelas, pasti akan mendapatkan yang berbeda. Yang lebih baik, terbaik dan semakin baik.

Tak ingin menyalahkan apapun yang terjadi, menyesalinya dan membenci. Itu hanya akan membuat diri semakin tersiksa dan rapuh. Tak perlu mempermasalahkan masalah, itu hanya akan memperpanjang waktu duka saja. Tak perlu mengingat yang telah lalu, karena itu tak akan kembali.

Yahh, begitulah kira-kira rasanya sakit hati. Memang sakit. Namun, semua akan baik-baik saja selama menginginkannya begitu. ^_^

No comments:

Post a Comment

Ehm, komentarnya yg bijak yaa.. ^_^